Faktaexpose.com – Indonesia sebagai negara demokratis dengan keberagaman budaya, suku, dan agama telah menjadi salah satu negara yang tidak luput dari ancaman terorisme. Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai aksi teror telah mencederai rasa aman publik dan menimbulkan trauma sosial yang mendalam. Pemerintah, melalui Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), telah melakukan langkah-langkah represif melalui penangkapan, penyidikan, hingga pemidanaan pelaku (BNPT, 2020).
Namun demikian, langkah penegakan hukum tidak cukup jika tidak disertai dengan proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Mantan napiter yang telah menjalani proses deradikalisasi dan menyatakan komitmen untuk meninggalkan ideologi kekerasan, membutuhkan ruang untuk kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang bermartabat. Mereka yang telah bertobat ini sering menunjukkan perubahan sikap signifikan—berhenti memegang paham radikal, menolak kekerasan, dan aktif menyuarakan narasi kontra-ekstremisme (Nurrohman, 2022).
Kendati demikian, upaya kembali ke masyarakat tidak mudah. Stigma dan penolakan sosial menjadi hambatan serius dalam proses reintegrasi. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman publik terhadap dinamika perubahan ideologis mantan napiter (Subekti, 2019). Padahal, terdapat banyak kisah sukses mantan napiter yang menjadi bagian aktif masyarakat, seperti membangun usaha, mengajar agama moderat, atau terlibat dalam kegiatan sosial.
Untuk itu, perlu dihadirkan pendekatan sosial yang tidak hanya fokus pada keamanan, tetapi juga membangun jaringan kepercayaan. Salah satu pendekatan efektif dalam hal ini adalah penguatan modal sosial, yaitu jaringan nilai, kepercayaan, dan hubungan antarindividu yang memungkinkan kerja sama sosial yang konstruktif (Putnam, 2000).
Modal sosial diyakini mampu menjadi fondasi kuat dalam proses reintegrasi sosial mantan napiter yang telah berubah.
*Pentingnya Modal Sosial dalam Reintegrasi Mantan Napiter*
Proses reintegrasi mantan napiter sangat bergantung pada keterhubungan sosial yang sehat antara individu dan masyarakat. Keberhasilan transformasi personal tidak akan berarti jika masyarakat tidak bersedia menerima kembali. Di sinilah modal sosial menjadi unsur strategis untuk menjembatani relasi yang telah retak akibat masa lalu napiter.
*1. Definisi dan Dimensi Modal Sosial*
Modal sosial adalah sumber daya sosial yang lahir dari hubungan antarindividu dalam jaringan yang dilandasi kepercayaan dan norma bersama (Coleman, 1988; Putnam, 2000). Terdapat dua dimensi penting: bonding social capital dan bridging social capital. Bonding mengacu pada ikatan internal sesama kelompok dekat (keluarga, teman), sedangkan bridging menghubungkan individu ke jaringan sosial yang lebih luas dan heterogen (Putnam, 2000). Keduanya penting dalam reintegrasi eks-napiter, untuk mendukung pemulihan psikososial dan penerimaan publik secara luas.
*2. Membangun Kembali Kepercayaan yang Terputus*
Kepercayaan masyarakat terhadap eks-napiter telah rusak akibat aksi teror yang dilakukan. Modal sosial dapat menjadi jembatan untuk membangun kembali kepercayaan ini. Tokoh agama, kepala desa, dan tokoh adat yang dihormati masyarakat dapat bertindak sebagai penjamin sosial (BNPT, 2020). Seperti ditegaskan oleh Putnam (2000), “Kepercayaan sosial adalah jantung dari modal sosial.”
*3. Mengurangi Risiko Relaps dan Rekrutmen Ulang*
Isolasi dan penolakan sosial meningkatkan risiko mantan napiter kembali ke kelompok radikal. Modal sosial yang sehat memberikan eks-napiter rasa memiliki, pengakuan, dan harapan, yang berfungsi sebagai pelindung dari keterpaparan kembali (ICG, 2021). Jejaring sosial yang suportif secara tidak langsung berfungsi sebagai sistem peringatan dini sosial.
*4. Mendorong Partisipasi Sosial dan Ekonomi*
Modal sosial membuka akses pada sumber daya ekonomi dan sosial. Mantan napiter yang mendapat kesempatan bekerja, pelatihan, atau membuka usaha kecil berpotensi mengikis stigma melalui kontribusi nyata kepada masyarakat (Subekti, 2019). Kegiatan ini juga memperkuat legitimasi mereka sebagai bagian dari warga sipil.
*5. Menguatkan Peran Keluarga*
Keluarga sebagai unit bonding social capital utama berperan sebagai penjaga moral dan emosional utama bagi eks-napiter (Nurrohman, 2022). Jika keluarga dilibatkan aktif dalam program reintegrasi, maka mereka menjadi benteng pertama dalam mencegah kemunduran dan membentuk sistem dukungan informal.
*6.Membangun Rekonsiliasi Sosial*
Modal sosial memperkuat nilai toleransi, gotong royong, dan pemaafan. Di daerah-daerah pascakonflik seperti Poso dan Ambon, pendekatan kultural dan religius telah berhasil menciptakan ruang perjumpaan antara mantan pelaku dan korban untuk memulihkan hubungan sosial (BNPT, 2020).
*Kesimpulan*
Modal sosial terbukti sebagai elemen vital dalam proses reintegrasi sosial mantan napiter. Melalui penguatan bonding dan bridging capital, eks-napiter tidak hanya mendapat dukungan internal tetapi juga dapat diterima kembali secara luas oleh masyarakat. Kepercayaan sosial yang tumbuh menjadi pondasi penting dalam mencegah relapse ideologi, mendorong partisipasi sosial-ekonomi, dan memfasilitasi rekonsiliasi sosial. Oleh karena itu, investasi dalam penguatan modal sosial merupakan strategi jangka panjang yang esensial dalam menciptakan masyarakat yang inklusif, aman, dan damai (Putnam, 2000; Nurrohman, 2022; ICG, 2021)
*Saran*
*1. Pelibatan Komunitas Lokal*
Pemerintah dan BNPT perlu menggandeng masyarakat lokal dalam proses reintegrasi, dengan membekali tokoh komunitas dengan pemahaman inklusif mengenai deradikalisasi dan rekonsiliasi (BNPT, 2020).
*2. Pemberdayaan Keluarga*
Program penguatan kapasitas keluarga eks-napiter perlu diperluas, mencakup pendampingan ekonomi dan psikososial agar keluarga menjadi pilar utama dalam transformasi sosial eks-napiter (Nurrohman, 2022).
*3. Kampanye Anti-Stigma*
Narasi publik yang positif dan kampanye keberhasilan reintegrasi mantan napiter harus digencarkan untuk mengurangi stigma dan ketakutan yang berlebihan di masyarakat (Subekti, 2019).
*4. Program Ekonomi Inklusif*
Pemerintah dan sektor swasta didorong untuk membuka peluang usaha atau pekerjaan bagi mantan napiter, misalnya melalui skema insentif perekrutan atau program wirausaha sosial (ICG, 2021).
*5. Integrasi ke Kebijakan Nasional*
Modal sosial perlu menjadi bagian eksplisit dari kebijakan nasional deradikalisasi dan penanggulangan terorisme sebagai pendekatan soft power jangka panjang (Putnam, 2000; BNPT, 2020).
*Daftar Pustaka*
• Coleman, J. S. (1988). Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology, 94(Supplement), S95-S120.
• Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster.
• Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (2020). Laporan Kegiatan Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial bagi Mantan Napiter.
• Nurrohman, M. (2022). Modal Sosial dan Reintegrasi Mantan Napiter di Indonesia. Jurnal Deradikalisasi, 11(1), 45–67.
• International Crisis Group (ICG). (2021). Indonesia: Rehabilitasi dan Reintegrasi untuk Mantan Teroris. Report No. 310.
• Subekti, I. (2019). Reintegrasi Sosial Mantan Narapidana Terorisme: Pendekatan Multistakeholder. Jurnal Keamanan Nasional, 5(2), 123–135.
Penulis : Serva Muthia (mahasiswa S3 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta)


